Jumat, 07 Januari 2011

BAB 11: Prasangka, Diskriminasi, dan ethosentrisme

kelompok 1
Nama        : Edwina Carolin Pietersz
Kelas        : 1 KA 24
NPM        : 12110254


  Perbedaan Kepentingan


Kepentingan merupakan dasar dari timbulnya tingkah laku individu. Individu bertingkah laku karena adanya dorongan untuk memenuhi kepentingannya. Kepentingan ini sifatnya esensial bagi kelangsungan hidup individu itu sendiri, jika individu berhasil memenuhi kepentingannya, maka ia akan merasakan kepuasan dan sebaliknya kegagalan dalam memenuhi kepentingan akan menimbilkan masalah baik bagi dirinya maupun bagi lingkungannya.
   Dengan berpegang prinsip bahwa tingkah laku individu merupakan cara atau alat dalam memenuhi kebutuhannya, maka kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh individu dalam masyarakat pada hakikatnya merupakan kepuasan pemenuhan dari kepentingan tersebut.
Oleh karena individu mengandung arti bahwa tidak ada dua orang yang sama persis dalam aspek-aspek pribadinya, baik jasmani maupun rohani, maka dengan sendirinya timbul perbedaan individu dalam hal kepentingannya. Perbedaan kepentingan itu antara lain berupa :
  1. kepentingan individu untuk memperoleh kasih sayang
  2. kepentingan individu untuk memperoleh harga diri
  3. kepentingan individu untuk memperoleh penghargaan yang sama
  4. kepentingan individu untuk memperoleh prestasi dan posisi
  5. kepentingan individu untuk dibutuhkan orang lain
  6. kepentingan individu untuk memperoleh kedudukan di dalam kelompoknya
  7. kepentingan individu untuk memperoleh rasa aman dan perlindungan diri
  8. kepentingan individu untuk memperoleh kemerdekaan diri
Kenyataan-kenyataan seperti itu menunjukkan ketidakmampuan suatu ideologi mewujudkan idealisme yang akhirnya akan melahirkan kondisi disintegrasi atau konflik. Permasalahan utama dalam tinjauan konflik ini adalah adanya jarak yang terlalu besar antara harapan dengan kenyataan pelaksanaan dan hasilnya kenyataan itu disebabkan oleh sudut pandang yang berbeda antara pemerintah atau penguasa sebagai pemegang kendali ideologi dengan berbagai kelompok kepentingan sebagai sub-sub ideologi.
  Perbedaan kepentingan ini tidak secara langsung menyebabkan terjadinya konflik tetapi mengenal beberapa fase yaitu:

1. fase disorganisasi yang terjadi karena kesalahpahaman.
2. fase dis-integrasi yaitu pernyataan tidak setuju.
    fase dis-integrasi ini memiliki tahapan (Menurut Walter W. Martin dkk):
  • ketidaksepahaman anggota kelompok tentang tujuan yang dicapai.
  • norma sosial tidak membantu dalam mencapai tujuan yang disepakati.
  • norma yang telah dihayati bertentangan satu sama lain.
  • sanksi sudah menjadi lemah
  • tindakan anggota masyarakat sudah bertentangan dengan norma kelompok. 

PRASANGKA, DISKRIMINASI, DAN ETNOSENTRISME 

Perbedaan Prasangka dan Diskriminasi


Prasangka adalah sifat negative terhadap sesuatu negative. dalam kondisi prasangka untuk menggapai akumulasi materi tertentu atau untuk status sosial bagi suatu individu atau suatu kelompok sosial tertentu. seorang yang berprasangka rasial biasanya bertindak diskriminasi terhadap ras yang diprasangkanya.
Etnosentrisme
Suku bangsa ras cenderung menganggap kebudayaan sebagai salah satu yang prima, riil,
logis, sesuai kodrat alam,dsb. Etnosentrisme merupakan gejala social yang universal. Etnosentrik merupakan akibat etnosentrisme penyebab utama kesalah pahaman berkomunikasi. Etnosentrisme dapat dianggap sebagai sikap Chauvinisme pernah dianut orang – orang Jerman zaman Nazi.

Masyarakat Pertentangan dan Ketegangan Dalam Masyarakat
Konflik mengandung pengertian tingkah laku yang lebih luas daripada yang biasa dibayangkan orang dengan mengartikannya sebagai pertentangan yang kasar atau perang. Dalam hal ini terdapat tiga elemen dasar yang merupakan ciri dari situasi konflik, yaitu :
  1. terdapat dua atau lebih unit-unit atau bagian yang terlibat dalam konflik.
  2. Unit-unit tersebut mempunyai perbedaan-perbedaan yang tajam dalam kebutuhan, tujuan, masalah, sikap, maupun gagasan-gagasan.
  3. Terdapat interaksi diantara bagian-bagian yang mempunyai perbedaan tersebut.
Konflik merupakan suatu tingkah laku yang dibedakan dengan emosi-emosi tertentu yang sering dihubungkan dengan kebencian atau permusuhan, konflik dapat terjadi pada lingkungan :
a. pada taraf di dalam diri seseorang, konflik menunjuk adanya pertentangan, ketidakpastian atau emosi dan dorongan yang antagonistic dalam diri seseorang.
b. pada taraf kelompok, konflik ditimbulkan dari konflik yang terjadi dalam diri individu, dari perbedaan pada para anggota kelompok dalam tujuan, nilai-nilai dan norma, motivasi untuk menjadi anggota kelompok, serta minat mereka.
c.pada taraf masyarakat, konflik juga bersumber pada perbedaan antara nilai-nilai dan norma-norma kelompok dengan nilai-nilai dan norma-norma dimana kelompok yang bersangkutan berada
Diambil dar:http://rizkhairun.blogspot.com


Golongan-golongan yang Berbeda dan Integrasi Sosial

a. Masyarakat Majemuk dan National Indonesia terdiri dari :
Masyarakat Indonesia digolongkan sebagai masyarakat majemuk yang terdiri dari berbagai suku bangsa dan golongan sosial yang dipersatukan oleh kesatuan nasional yang berwujudkan Negara Indonesia. Aspek-aspek dari kemasyarakatan :
1.Suku bangsa dan kebudayaannya.
2. Agama
3. Bahasa
4. Nasional Indonesia.
b. Integritas
variabel-variabel yang dapat menghamabat dalam integritas adalah :
1. Klaim/tuntutan penguasaan atas wilayah-wilayah yang dianggap sebagai miliknya
2. Isu asli tidak asli, berkaitan dengan perbedaan kehidupan ekonomi.
3. Agama, sentimen agama dapat digerakkan untuk mempertajam perbedaan kesukuan
4. Prasangka yang merupakan sikap permusuhan terhadap seseorang anggota golongan
c. Integrasi Sosial 
Integrasi Sosial adalah merupakan proses penyesuaian unsur-unsur yang berbeda dalam masyarakat menjadi satu kesatuan. Unsur yang berbeda tersebut meliputi perbedaan kedudukan sosial,ras, etnik, agama, bahasa, nilai, dan norma

Menjelaskan Tentang Integrasi Nasional

1. Di bawah ini beberapa permasalahan integrasi nasional :
    - Perbedaan Ideologi
    - Kondisi masyarakat yang majemuk
    - Masalah teritorial daerah yang berjarak cukup jauh
    - Pertumbuhan partai politik

2. Upaya Pendekatan
    - Mempertebal keyakinan seluruh warga negara terhadap ideologi nasional
    - Membuka isolasi antar berbagai kelompok etnis.
    - Menggali kebudayaan daerah untuk menjadi kebudayaan nasional
    - Membentuk jaringan asimilasi bagi berbagai kelompok etnis pribumi

http://damardwi.blogspot.com



STUDI KASUS :

ICRP: Lawan Diskriminasi Atas Nama Agama

 Kerukunan beragama di Indonesia dinilai akan semakin suram pada tahun depan. Hal tersebut terlihat dari banyaknya laporan tindak kekerasan terhadap kelompok agama atau umat beragama tertentu yang terjadi tahun ini.

"Semakin suram ya, melihat laporan dari berbagai NGO pemerhati kebebasan beragama, kok kekerasan semakin menjadi-jadi," ujar Ketua Indonesia Conference on Religion and Peace atau ICRP, Musdah Mulia, usai pembukaan Konferensi Nasional ICRP 2010, Jakarta, Minggu (19/12/2010).

Dikatakan Musdah, terdapat dua faktor yang menyebabkan tindak kekerasan terhadap umat beragama tersebut terus tumbuh. Pertama, kondisi masyarakat yang tidak berani menyuarakan kekerasan tersebut.

"Seolah membiarkan, karena itu tidak terjadi pada kita," katanya. Kedua, pembiaran pemerintah terhadap masalah kekerasan tersebut.


"Sikap ini yang menyebabkan kekerasan berbasis agama dijadikan hal biasa. Meskipun ICRP harus oposisi dengan pemerintah, kita tidak bisa mendiamkan ini semua," ungkap Musdah.

ICRP, kata Musdah, akan berupaya melawan diskriminasi atau tindak kekerasan terhadap umat agama tertentu tersebut melalui cara advokasi seperti yang selama ini dilakukan.

"Advokasi kepada pemerintah supaya berbagai kebijakan diskriminatif dicabut, menyusun kebijakan publik yang sungguh melindungi hak sipil warga negara," ujarnya.

Juga melalui advokasi kepada kelompok-kelompok yang menjadi korban kekerasan atas nama agama agar kelompok tersebut bersuara meminta keadilan.

Kemudian melalui pendidikan non formal alternatif seperti dengan mempublikasikan penelitian ilmiah yang mengarahkan agar setiap orang dapat mengerti hak dan kewajiban satu sama lain. "Muncul prejudice karena tidak saling kenal saja.

Membangun kesepahaman, pengertian bahwa perbedaan itu tidak harus menjadi masalah," pungkas Musdah yang baru terpilih sebagai ketua ICRP itu.

SUMBER :
http://nasional.kompas.com/read/2010/12/18/19201961/ICRP.Lawan.Diskriminasi.Atas.Nama.Agama

OPINI :

perbedaan kepentingan, diskiminasi, etnosentrisme, dan ketegangan dalam masyarakat harus ditanggapi dengan musyawarah. agar tidak terjadi pertentangan dan perpecahan.

Kamis, 06 Januari 2011

BAB 10 : Agama dan Masyarakat

kelompok 1
nama     : edwina carolin pietersz
kelas    : 1 ka 24
nmp : 12110254



Fungsi Agama bagi Kehidupan
Ada beberapa alasan tentang mengapa agama itu sangat penting dalam kehidupan manusia, antara lain adalah :
Karena agama merupakan sumber moral
Karena agama merupakan petunjuk kebenaran
Karena agama merupakan sumber informasi tentang masalah metafisika.
Karena agama memberikan bimbingan rohani bagi manusia baik di kala suka, maupun di kala duka.
Manusia sejak dilahirkan ke dunia ini dalam keadaan lemah dan tidak berdaya, serta tidak mengetahui apa-apa sebagaimana firman Allah dalam Q. S. al-Nahl (16) : 78
Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak tahu apa-apa. Dia menjadikan untukmu pendengaran, penglihatan dan hati, tetapi sedikit di antara mereka yang mensyukurinya.
Dalam keadaan yang demikian itu, manusia senantiasa dipengaruhi oleh berbagai macam godaan dan rayuan, baik dari dalam, maupun dari luar dirinya. Godaan dan rayuan daridalam diri manusia dibagi menjadi dua bagian, yaitu
Godaan dan rayuan yang berysaha menarik manusia ke dalam lingkungan kebaikan, yang menurut istilah Al-Gazali dalam bukunya ihya ulumuddin disebut dengan malak Al-hidayah yaitu kekuatan-kekuatan yang berusaha menarik manusia kepada hidayah ataukebaikan.
Godaan dan rayuan yang berusaha memperdayakan manusia kepada kejahatan,yang menurut istilah Al-Gazali dinamakan malak al-ghiwayah, yakni kekuatan-kekuatan yang berusaha menarik manusia kepada kejahatan
Disinilah letak fungsi agama dalam kehidupan manusia, yaitu membimbing manusia kejalan yang baik dan menghindarkan manusia dari kejahatan atau kemungkaran.
Fungsi Agama Kepada Manusia
Dari segi pragmatisme, seseorang itu menganut sesuatu agama adalah disebabkan oleh fungsinya. Bagi kebanyakan orang, agama itu berfungsi untuk menjaga kebahagiaan hidup. Tetapi dari segi sains sosial, fungsi agama mempunyai dimensi yang lain seperti apa yang dihuraikan di bawah:
- Memberi pandangan dunia kepada satu-satu budaya manusia.
Agama dikatankan memberi pandangan dunia kepada manusia kerana ia sentiasanya memberi penerangan mengenai dunia(sebagai satu keseluruhan), dan juga kedudukan manusia di dalam dunia. Penerangan bagi pekara ini sebenarnya sukar dicapai melalui inderia manusia, melainkan sedikit penerangan daripada falsafah. Contohnya, agama Islam menerangkan kepada umatnya bahawa dunia adalah ciptaan Allah SWTdan setiap manusia harus menaati Allah SWT
-Menjawab pelbagai soalan yang tidak mampu dijawab oleh manusia.
Sesetangah soalan yang sentiasa ditanya oleh manusia merupakan soalan yang tidak terjawab oleh akal manusia sendiri. Contohnya soalan kehidupan selepas mati, matlamat  menarik dan untuk menjawabnya adalah perlu. Maka, agama itulah berfungsi untuk menjawab soalan-soalan ini.
- Memberi rasa kekitaan kepada sesuatu kelompok manusia.
Agama merupakan satu faktor dalam pembentukkan kelompok manusia. Ini adalah kerana sistem agama menimbulkan keseragaman bukan sahaja kepercayaan yang sama, malah tingkah laku, pandangan dunia dan nilai yang sama.
– Memainkan fungsi kawanan sosial.
Kebanyakan agama di dunia adalah menyaran kepada kebaikan. Dalam ajaran agama sendiri sebenarnya telah menggariskan kod etika yang wajib dilakukan oleh penganutnya. Maka ini dikatakan agama memainkan fungsi kawanan sosial.



Fungsi Sosial Agama
Secara sosiologis, pengaruh agama bisa dilihat dari dua sisi, yaitu pengaruh yang bersifat positif atau pengaruh yang menyatukan (integrative factor) dan pengaruh yang bersifat negatif atau pengaruh yang bersifat destruktif dan memecah-belah (desintegrative factor).
Pembahasan tentang fungsi agama disini akan dibatasi pada dua hal yaitu agama sebagai faktor integratif dan sekaligus disintegratif bagi masyarakat.
Fungsi Integratif Agama
Peranan sosial agama sebagai faktor integratif bagi masyarakat berarti peran agama dalam menciptakan suatu ikatan bersama, baik diantara anggota-anggota beberapa masyarakat maupun dalam kewajiban-kewajiban sosial yang membantu mempersatukan mereka. Hal ini dikarenakan nilai-nilai yang mendasari sistem-sistem kewajiban sosial didukung bersama oleh kelompok-kelompok keagamaan sehingga agama menjamin adanya konsensus dalam masyarakat.
Fungsi Disintegratif Agama.
Meskipun agama memiliki peranan sebagai kekuatan yang mempersatukan, mengikat, dan memelihara eksistensi suatu masyarakat, pada saat yang sama agama juga dapat memainkan peranan sebagai kekuatan yang mencerai-beraikan, memecah-belah bahkan menghancurkan eksistensi suatu masyarakat. Hal ini merupakan konsekuensi dari begitu kuatnya agama dalam mengikat kelompok pemeluknya sendiri sehingga seringkali mengabaikan bahkan menyalahkan eksistensi pemeluk agama lain
Tujuan Agama
Salah satu tujuan agama adalah membentuk jiwa nya ber-budipekerti dengan adab yang sempurna baik dengan tuhan-nya maupun lingkungan masyarakat.semua agama sudah sangat sempurna dikarnakan dapat menuntun umat-nya bersikap dengan baik dan benar serta dibenarkan. keburukan cara ber-sikap dan penyampaian si pemeluk agama dikarnakan ketidakpahaman tujuan daripada agama-nya. memburukan serta membandingkan agama satu dengan yang lain adalah cerminan kebodohan si pemeluk agama
Beberapa tujuan agama yaitu :
Menegakan kepercayaan manusia hanya kepada Allah,Tuhan Yang Maha Esa (tahuit).
Mengatur kehidupan manusia di dunia,agar kehidupan teratur dengan  baik, sehingga dapat mencapai kesejahterahan hidup, lahir dan batin, dunia dan akhirat.
Menjunjung tinggi dan melaksanakan peribadatan hanya kepada Allah.
Menyempurnakan akhlak manusia.
Menurut para peletak dasar ilmu sosial seperti Max Weber, Erich Fromm, dan Peter L Berger, agama merupakan aspek yang sangat penting dalam kehidupan manusia. Bagi umumnya agamawan, agama merupakan aspek yang paling besar pengaruhnya –bahkan sampai pada aspek yang terdalam (seperti kalbu, ruang batin)– dalam kehidupan kemanusiaan.
Masalahnya, di balik keyakinan para agamawan ini, mengintai kepentingan para politisi. Mereka yang mabuk kekuasaan akan melihat dengan jeli dan tidak akan menyia-nyiakan sisi potensial dari agama ini. Maka, tak ayal agama kemudian dijadikan sebagai komoditas yang sangat potensial untuk merebut kekuasaan.
Yang lebih sial lagi, di antara elite agama (terutama Islam dan Kristen yang ekspansionis), banyak di antaranya yang berambisi ingin mendakwahkan atau menebarkan misi (baca, mengekspansi) seluas-luasnya keyakinan agama yang dipeluknya. Dan, para elite agama ini pun tentunya sangat jeli dan tidak akan menyia-nyiakan peran signifikan dari negara sebagaimana yang dikatakan Hobbes di atas. Maka, kloplah, politisasi agama menjadi proyek kerja sama antara politisi yang mabuk kekuasaan dengan para elite agama yang juga mabuk ekspansi keyakinan.
Namun, perlu dicatat, dalam proyek “kerja sama” ini tentunya para politisi jauh lebih lihai dibandingkan elite agama. Dengan retorikanya yang memabukkan, mereka tampil (seolah-olah) menjadi elite yang sangat relijius yang mengupayakan penyebaran dakwah (misi agama) melalui jalur politik. Padahal sangat jelas, yang terjadi sebenarnya adalah politisasi agama.
Di tangan penguasa atau politisi yang ambisius, agama yang lahir untuk membimbing ke jalan yang benar disalahfungsikan menjadi alat legitimasi kekuasaan; agama yang mestinya bisa mempersatukan umat malah dijadikan alat untuk mengkotak-kotakkan umat, atau bahkan dijadikan dalil untuk memvonis pihak-pihak yang tidak sejalan sebagai kafir, sesat, dan tuduhan jahat lainnya.
Menurut saya, disfungsi atau penyalahgunaan fungsi agama inilah yang seyogianya diperhatikan oleh segenap ulama, baik yang ada di organisasi-organisasi Islam semacam MUI. Ulama harus mempu mengembalikan fungsi agama karena Agama bukan benda yang harus dimiliki, melainkan nilai yang melekat dalam hati.
Mengapa kita sering takut kehilangan agama, karena agama kita miliki, bukan kita internalisasi dalam hati. Agama tidak berfungsi karena lepas dari ruang batinnya yang hakiki, yakni hati (kalbu). Itulah sebab, mengapa Rasulullah SAW pernah menegaskan bahwa segala tingkah laku manusia merupakan pantulan hatinya. Bila hati sudah rusak, rusak pula kehidupan manusia. Hati yang rusak adalah yang lepas dari agama. Dengan kata lain, hanya agama yang diletakkan di relung hati yang bisa diobjektifikasi, memancarkan kebenaran dalam kehidupan sehari-hari.
Sayangnya, kita lebih suka meletakkan agama di arena yang lain: di panggung atau di kibaran bendera, bukan di relung hati
Fungsi pertama agama, ialah mendefinisikan siapakah saya dan siapakah Tuhan, serta bagaimanakah saya berhubung dengan Tuhan itu. Bagi Muslim, dimensi ini dinamakan sebagai hablun minaLlah dan ia merupakah skop manusia meneliti dan mengkaji kesahihan kepercayaannya dalam menghuraikan persoalan diri dan Tuhan yang saya sebutkan tadi. Perbincangan tentang fungsi pertama ini berkisar tentang Ketuhanan, Kenabian, Kesahihan Risalah dan sebagainya.
Kategori pertama ini, adalah daerah yang tidak terlibat di dalam dialog antara agama. Pluralisma agama yang disebut beberapa kali oleh satu dua penceramah, TIDAK bermaksud menyamaratakan semua agama dalam konteks ini. Mana mungkin penyama rataan dibuat sedangkan sesiapa sahaja tahu bahawa asas agama malah sejarahnya begitu berbeza. Tidak mungkin semua agama itu sama!
Manakala fungsi kedua bagi agama ialah mendefinisikan siapakah saya dalam konteks interpersonal iaitu bagaimanakah saya berhubung dengan manusia. Bagi pembaca Muslim, kategori ini saya rujukkan ia sebagai hablun minannaas.
Ketika Allah SWT menurunkan ayat al-Quran yang memerintahkan manusia agar saling kenal mengenal (Al-Hujurat 49: 13), perbezaan yang berlaku di antara manusia bukan sahaja meliputi perbezaan kaum, malah agama dan kepercayaan. Fenomena berbilang agama adalah seiring dengan perkembangan manusia yang berbilang bangsa itu semenjak sekian lama.
Maka manusia dituntut agar belajar untuk menjadikan perbedaan itu sebagai medan kenal mengenal, dan bukannya gelanggang krisis dan perbalahan.
Untuk seorang manusia berkenalan dan seterusnya bekerjasama di antara satu sama lain, mereka memerlukan beberapa perkara yang boleh dikongsi bersama untuk menghasilkan persefahaman. Maka di sinilah, dialog antara agama (Interfaith Dialogue) mengambil tempat. Dialog antara agama bertujuan untuk menerokai beberapa persamaan yang ada di antara agama. Dan persamaan itu banyak ditemui di peringkat etika dan nilai.

Agama dan Masyarakat : Suatu Tinjauan Fungsi Agama Terhadap Masyarakat
Penjelasan yang bagaimanapun adanya tentang agama, tak akan pernah tuntas tanpa mengikutsertakan aspek-aspek sosiologisnya. Agama, yang menyangkut kepercayaan kepercayaan serta berbagai prakteknya, benar-benar merupakan masalah sosial dan pada saat ini senantiasa ditemukan dalam setiap masyarakat manusia. Karena itu segera lahir pertanyaan tentang bagaimana seharusnya dari sudut pandang sosiologis.
Dalam pandangan sosiologi, perhatian utama terhadap agama adalah pada fungsinya terhadap masyarakat. Istilah fungsi seperti kita ketahui, menunjuk kepada sumbangan yang diberikan agama, atau lembaga sosial yang lain, untuk mempertahankan (keutuhan) masyarakat sebagai usaha-usaha yang aktif dan berjalan terus-menerus. Dengan demikian perhatian kita adalah peranan yang telah ada dan yang masih dimainkan. Emile Durkheim sebagai sosiolog besar telah memberikan gambaran tentang fungsi agama dalam masyarakat. Dia berkesimpulan bahwa sarana-sarana keagamaan adalah lambang-lambang masyarakat, kesakralan bersumber pada kekuatan yang dinyatakan berlaku oleh masyarakat secara keseluruhan bagi setiap anggotanya, dan fungsinya adalah mempertahankan dan memperkuat rasa solidaritas dan kewajiban sosial.
Agama telah dicirikan sebagai pemersatu aspirasi manusia yang paling sublime; sebagai sejumlah besar moralitas, sumber tatanan masyarakat dan perdamaian batin individu; sebagai sesuatu yang memuliakan dan yang membuat manusia beradab. Sebenarnya lembaga keagamaan adalah menyangkut hal yang mengandung arti penting tertentu, menyangkut masalah aspek kehidupan manusia, yang dalam transendensinya, mencakup sesuatu yang mempunyai arti penting dan menonjol bagi manusia. Bahkan sejarah menunjukkan bahwa lembaga-lembaga keagamaan merupakan bentuk asosiasi manusia yang paling mungkin untuk terus bertahan.
Dalam kaitannya dengan lembaga sosial yang ada dalam masyarakat, hendaknya cara berpikir sosiologis dipusatkan pada lembaga-lembaga kecil dan besar, serta gabungan lembaga-lembaga yang merupakan sub-sub sistem dalam masyarakat. Para sosiolog cenderung untuk memperhatikan paling sedikit 4 kelompok lembaga-lembaga yang penting (yang dapat dijabarkan ke dalam kategori-kategori yang lebih kecil dan khusus), yakni:
Lembaga-lembaga politik yang ruang lingkupnya adalah penerapan kekuasaan dan monopoli pada penggunaan kekuasaan secara sah.
Lembaga-lembaga ekonomi yang mencakup produksi dan distribusi barang dan jasa.
Lembaga-lembaga integrative-ekspresif, yang menurut Inkeles adalah (Alex inkeles 1965: 68).
“… Those dealing with the arts, drama, and recreation..This group also includes institutions which deal with ideas, and with the transmission of received values. We may, therefore, include scientific, religius, philosophical, and educational organizations within this category”.
Lembaga-lembaga kekerabatan mencakup kaedah-kaedah yang mengatur hubungan seksual serta pengarahan terhadap golongan muda.
Walaupun tampaknya, suatu lembaga memusatkan perhatian terhadap suatu aspek kemasyarakatan tertentu, namun di dalam kenyataan lembaga-lembaga tersebut saling berkaitan secara fungsional. Setiap lembaga berpartisipasi dan memberikan kontribusi dengan cara-cara tertentu pada kehidupan masyarakat setempat (“community”).
Perbincangan tentang agama dan masyarakat memang tidak akan pernah selesai, seiring dengan perkembangan masyarakat itu sendiri. Baik secara teologis maupun sosiologis, agama dapat dipandang sebagai instrument untuk memahami dunia. Dalam konteks itu, hampir-hampir tak ada kesulitan bagi agama apapun untuk menerima premis tersebut. Secara teologis hal itu dikarenakan oleh watak omnipresent agama. Yaitu, agama, baik melalui simbol-simbol atau nilai-nilai yang dikandungnya “hadir dimana-mana”, ikut mempengaruhi, bahkan membentuk struktur sosial, budaya , ekonomi dan politik serta kebijakan publik. Dengan ciri ini, dipahami bahwa dimanapun suatu agama berada, ia diharapkan dapat memberi panduan nilai bagi seluruh diskursus kegiatan manusia, baik yang bersifat sosial-budaya, ekonomi maupun politik. Sementara itu, secara sosiologis tak jarang agama menjadi faktor penentu dalam proses transformasi dan modernisasi.
Kehadiran agama-agama didunia memang mampu memberikan warna-warni terhadap kehidupan dunia. Karena agama secara umum kehadirannya disertai “dua muka” (janus face). Pada satu sisi , secara inherent agama memiliki idensitas yang bersifat “exclusive”, “particularist”, dan “primordial”. Akan tetapi, pada waktu yang sama, agama juga kaya akan identitas yang bersifat “inclusive”, “universalist”, dan “transcending”. Atau dengan kata lain mempunyai energi konstruktif dan destruktif terhadap umat manusia. Yang dalam perjalanan sejarahnya mampu memberikan kedamaian hidup umat manusia, tetapi juga menimbulkan malapetaka bagi dunia akibat perang antar agama dan politisasi suatu agama tertentu oleh para penguasa yang dzolim. Sejarah mencatat “perang salib” atau “perang sabil” antara islam dengan Kristen selama empat abad lamanya dengan kemenangan silih berganti.
Pemeluk agama-agama di dunia meyakini bahwa fungsi utama agama yang dipeluknya itu adalah memandu kehidupan manusia agar memperoleh keselamatan di dunia dan keselamatan sesudah hari kematian. Mereka menyatakan bahwa agamanya menyatakan kasih sayang pada sesama manusia dan sesama makhluk Tuhan, alam tumbuh-tumbuhan, hewan, hingga benda mati.Sehingga dalam usahanya untuk membentuk kehidupan yang damai, banyak dari para ahli dan agamawan dari tiap-tiap agama melakukan dialog-dialog untuk memecahkan konflik keagamaan. Pada level dunia mulai muncul pandangan tentang universal religion yaitu suatu agama yang tidak membedakan dari mana asal teologis dan unsur transcendental suatu agama tetapi memandang tinggi nilai-nilai kemanusiaan, kedamaian dan keberlangsungan hidup berdampingan.
Di Indonesia sendiri konflik agama baik yang bersifat murni maupun yang ditumpangi oleh aspek budaya, politik, ideologi dan kepentingan golongan banyak mewarnai perjalanan sejarah Indonesia. Bahkan diera reformasi dan paska reformasi, agama telah menunjukkan peran dan fungsinya yang nyata. Baik kekuatan yang konstuktif maupun kekuatan yang destruktif. Sesudah gerakan reformasi, suatu keyakinan ketuhanan atau keagamaan banyak dituduh telah menyebabkan konflik kekerasan dinegeri ini. Selama empat tahun belakangan, ribuan anak bangsa mati tanpa tahu untuk apa. Ribuan manusia terusir dari kampong halamannya, tempat mereka dilahirkan. Ribuan anak-anak lainnya pun menjadi piatu, kehilangan sanak keluarganya dan orang-orang yang dikasihi.
Pertanyaan tentang mengapa bangsa yang selama ini dikenal santun dan relegius, berubah beringas dan mudah melakukan tindak kekerasan pada sesama, jawabanya tidak pernah jelas dan beragam. Apakah hal ini karena faktor keagamaan, etnisitas, ekonomi dan politik atau faktor lain, masih menjadi bahan perdebatan panjang. Fungsi agama pun tetap diperdebatkan oleh para ilmuan, apakah agama sebagai pemicu konflik atau agama sebagai faktor integrasi sosial.

1. Thomas F.o’dea, Sosiologi Agama Suatu Pengenalan Awal, Jakarta, CV. Rajawali Press, 1985.
2. Elizabet K. Nottingham, Agama dan Masyarakat: Suatu pengantar Sosiologi agama, Jakarta, CV. Rajawali Press, 1985.
3. Betty R. Scharf, Kajian Sosiologi Agama, Jogyakarta, Tiara Wacana, 1995.
4. Soerjono Soekanto, Beberapa Teori Sosiologi Tentang Struktur Masyarakat, Jakarta, CV. Rajawali Press, Cet.2, 1984.
5. Bahtiar Efendi, Masyarakat Agama dan Pluralisme Keagamaan: Perbincangan Mengenai Islam, Masyarakat Madani dan Etos Kewirausahaan, Jogjakarta, Galang Press, 2001.
6. Abdul Munir Mulkan, Dilema Manusia Dengan Diri dan Tuhan kata pengantar dalam Th. Sumartana (ed.), Pluralis, Konflik, dan Pendidikan Agama Di Indonesia, Jogjakarta, Pustaka Pelajar, 2001.



Sifat dan Fungsi Agama Dalam Masyarakat
Agama adalah fenomena hidup manusia. Dorongan untuk bergama, penghayatan terhadap wujud agama serta bentuk pelaksanaanya dalam masyarakat bias berbeda-beda, namun pada hakekatnya sama, yaitu, bahwa semua agama merupakan jawaban terhadap kerinduan manusia yang paling dalam yang mengatasi semua manusia.
Pada hakekatnya seluruh manusia ini secara fithriah mempunyai potensi untuk percaya kepada Yang Maha Esa dank arena agama yang mengajarkan tentang konsepsi ketuhanan merupakan bagain yang tak terpisahkan dan kehidupan umat manusia.
Agama merupakan factor yang sangat penting dan sangat menentukan bagi kehidupan jutaan manusia. Agama seringkali menjadi motif dalam keputusan-keputusan politik, social ekonomi, serta pernyataan-pernyataan kebudayaan. Agama dapat mempersatukan dari berbagai suku dan bangsa di dunia ini. Agama dapat menjadi tali pengikat persaudaraan yang kekal, yang melampaui batas-batas wilayah atau georafi. Orang-orang beragama lebih dekat satu sama lain karena mereka mengenal seperangkat nilai-nilai dasar sebagai pedoman bagi kehidupan bermasyarakat dan bernegara.
Agama mempunyai 2 dimensi yaitu transcendental (ukhrowi) menyangkut hubungan manusia dengan Tuhannya dan mondial (duniawi) menyangkut hubungan manusia dengan manusia lain dan lingkungan.
Menurut DR. Nico Syukur Dister ditinjau dari segi psikologi agama ada 4 macam motivasi kelakuan bergama :
1. Agama sebagai sarana untuk mengatasi frustasi
2. Agama sebagai sarana untuk menjaga kesusilaan dan tata tertib masyarakat.
3. Agama sebagai sarana untuk memuaskan intelak yang ingin tahu
4. Agama sebagai sarana mengatasi ketakutan.
Tinjauan ini bersifat fungsional, sedangkan dibalik itu masih ada motif lain yang lebih dalam yang tidak bisa lepas dari sifat dan kodrat manusia itu sendiri. 

STUDI KASUS

                 TUJUH TEWAS AKIBAT BENTROK KEAGAMAAN

Pihak berwenang Pakistan memberlakukan jam malam di distrik barat laut yang bergolak setelah terjadi bentrokan dan baku tembak yang menewaskan sedikitnya tujuh orang dalam prosesi keagamaan, demikian dikatakan para pejabat, Minggu (28/2/2010).






Aksi kekerasan antar kelompok meletus Sabtu di kota Paharpur, di distrik Dera Ismail Khan, saat ratusan umat Muslim berpawai merayakan Maulud Nabi Muhammad SAW.

Orang bersenjata melepaskan tembakan ke dalam parade yang diikuti sekte Barelvi dari kelompok Sunni, menewaskan seorang di tempat kejadian, dan memicu kemarahan massa untuk membalas dengan menyerang satu sekolah Deobandi lokal, dari sekte Sunni.

sumber : http://www1.kompas.com/read/xml/2010/02/28/18144399/tujuh.tewas.akibat.bentrok.keagamaan


OPINI :
 perbedaan agama bukanlah satu hal yang rumit untuk membuat kedamaian.tetapi kita saling  menghargai dan menghormati agama lain.